WAKTU

Saturday, November 8, 2014

RAUDHAH AL-SYARIFAH

Raudah artinya “Taman” (Raudatul Jannah atau Taman Syurga). Raudah adalah suatu tempat di dalam Masjid Nabawi di Madinah yang letaknya di antara makam Rasulullah SAW (dahulunya kamar Rasullullah SAW) sampai ke Mimbar Masjid. 

Masjid Nabawi adalah masjid kedua dibangun oleh Rasullullah SAW setelah Masjid Quba. Di situlah dahulu Rasullullah SAW biasa membacakan wahyu dan mengajarkan tentang Islam kepada para sahabat terdekatnya. Berdoa di Raudah menjanjikan fadhilah yang sangat tinggi. Sesungguhnya tempat ini sangat mustajab untuk kita berdoa memohon sesuatu kepada Allah SWT. Dari Abu Hurairah r.a bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: “Apa yang berada antara rumahku dan mimbarku adalah Raudhah (sebuah taman) dari taman-taman syurga dan mimbarku berada di atas telagaku.” (Riwayat Bukhari dan Muslim).

Kamar Rasullullah SAW dengan isterinya Siti Aisyah terletak disamping Masjid Nabawi. Lokasi antara kamar dan mimbar inilah yang dikenal dengan Raudah atau Raudatul Jannah. Ketika Rasullullah SAW meninggal, beliau dikuburkan di dalam kamarnya dan Siti Aisyah tetap tinggal di kamar yang sama. Kemudian ketika Abu Bakar Ra mendekati ajal beliau minta izin kepada Siti Aisyah agar dapat dikuburkan disamping sahabat yang paling dicintainya dan Aisyah mengizinkannya. Seperti diketahui Abu Bakar adalah ayah dari Siti Aisyah. Kemudian ketika Umar bin Khathab mendekati ajal beliau juga minta izin Siti Aisyah untuk dikuburkan disamping sahabatnya. Walaupun Siti Aisyah sudah merancang untuk dikuburkan disamping suami dan ayah yang sangat dicintainya, tetapi karena rasa hormatnya kepada Umar bin Khathab maka Siti Aisyah juga mengizinkannya. Setelah Umar bin Khaththab dikubur disamping Nabi saw, maka Aisyah tidak pernah membuka aurat dikamarnya karena telah ada orang asing bukan mahramnya yang telah dikubur dikamarnya. Begitulah mulianya Siti Aisyah, meskipun laki-laki yang bukan mahramnya telah meninggal tetap saja Siti Aisyah tidak mau menampakkan auratnya didepan kuburan Umar bin Khattab. 

Adapun tentang Taman/Raudhah yang dimaksud dalam hadis di atas para ulama menafsirkan bahwa Taman yang dimaksud adalah taman yang sesungguhnya, karena tempat tersebut kelak akan berpindah ke akhirat sebagai Taman Surga. Pendapat lain bahwa Rahmat dan Anugerah kebahagiaan yang turun ketempat tersebut seperti yang turun ke taman surga, disebabkan karena zikir kepada Allah yang dilakukan terus menerus ditempat itu. Pendapat lain juga menyebutkan bahwa Ibadah yang dilakukan ditempat tersebut membawa pelakunya ke surga.


KAWASAN RAUDAH DAN TIANG-TIANG YANG ADA DISEKITARNYA 

Luas Raudah kurang lebih 22 m x 15 m yang ditandai dengan karpet khusus warna dasar putih kebiruan dan tiang-tiang yang terkesan antik dan berbeda dengan umumnya tiang-tiang dibagian lain Masjid Nabawi yang berasitektur modern. Didalam Raudhah terdapat Mimbar, Mihrab dan Tiang-Tiang yang memiliki sejarah dan keutamaan masing-masing. 

MIMBAR

Berdasarkan hadis dari sahabat Abu Hurairah di atas bahwa “mimbarku di atas telagaku”. Mayoritas ulama menafsirkan hadis tersebut “bahwa bentuk fisik mimbar itu akan dikembalikan seperti aslinya dan diletakkan ditelaganya sebagaimana kembalinya manusia”. Ada juga yang menafsirkan hadis di atas “bahwa beramal sholeh ditempat itu akan diganjar dengan minum dari telaga Rasulullah SAW.”.


Sejarah Mimbar 
Mimbar Rasulullah SAW. dulunya hanya 3 tingkat, terbuat dari kayu yang diambil dari sebuah hutan dibagian utara kota madinah. Pada tahun 8H. Rasulullah SAW. memakai mimbar ini, duduk pada bagian yang paling atas, kakinya ditempat kedua. Saat Abu Bakar RA. menjadi khalifah beliau duduk ditingkat kedua dan kakinya dibagian paling bawah. Kemudian Umar Ibnu Khattab Karamullah wajhah duduk di bagian bawah dan kakinya menyentuh lantai. Usman ibn Affan meniru cara duduk umar selama 6 bulan, kemudian naik ke atas, duduk pada posisi duduk Rasulullah SAW. Pada saat Mu’awiyyah pergi haji, beliau menambahkan beberapa tingkat pada mimbar Rasulullah SAW. itu dan yang aslinya diletakkan pada bagian paling atas. Semuanya menjadi 9 tingkat dengan tempat duduknya. Namun mimbar tersebut beberapa kali mengalami kebakaran dan pergantian, terakhir oleh Sultan Murad III membuat dari marmer yang bagian luarnya dipoles emas berbentuk ukiran, bagian atasnya berbentuk kubah dengan 4 tiang menyangga. Diatas pintunya ada tulisan alqur’an yang selalu Nampak seperti baru saja selesai disepuh emas. 

Setiap Rombongan Jamaah Haji dapat melaksanakan sholat jum’at di Masjid Nabawi hanya sekali selama di Madinah. Rombongan kami sampai di Madinah hari selasa tanggal 19 Oktober 2010. Ketika melaksanakan sholat jum’at saya berada di di saf depan dibelakang Imam sementara Mimbar berada di “Raudhah” yang posisinya di ruangan belakang. Di depan Raudhah terdapat area yang digunakan untuk lalulintas jemaah yang berziarah ke makam Rasulullah (masuk melalui Babussalam dan keluar melalui Babul-Baqi’), ketika tiba waktu sholat tempat tersebut digunakan untuk sholat dan Imam berada di area tersebut, dan saya berada di area tersebut.. Saat saya menengok kebelakang seingat saya “khatibnya berada ditangga paling atas persis didepan mic yang sudah tersedia”

MIHRAB DAN TIANG MUKHOLLAQOH

Didalam Raduhah terdapat Mihrab Nabi yang letaknya ditengah-tengah antara Mimbar dan Makam Rasulullah SAW. Untuk dimaklumi bahwa di sebelah kanan Raudhah (diluar kawasan Raudhah) juga terdapat Mihrab Hanafi. Berdasarkan penjelasan buku Sejarah Masjid Nabawi, bahwa baik pada masa Rasulullah SAW. atau Al-Khulafa al-Rasyidun sesungguhnya tidak ada Mihrab tetapi orang yang pertama kali membangunnya adalah Umar bin Abd Al-Azis pada perluasan Masjid Nabawi yang dilakukan pada tahun 91 H. dan sejak itulah dikenal dengan Mihrab Nabi. Di Mihrab ini ada tiang yang menempel yang dikenal dengan Tiang Al-Mukhollaqoh. 

Berdasarkan riwayat Ubai bin Kaab bahwa Rasulullah SAW. Melakukan sholat menghadap tonggak (korma), dimana saat itu masjidnya hanyalah semacam rumah tempat berteduh, dan pada tonggak itu pula Rasulullah SAW. berkhutbah. Bunyi tulisan yang ada pada punggung mihrab ini menyatakan bahwa pada tahun 888 H dilakukan pembangunan kembali pada mihrab ini oleh Sultan Qayit Bay, kemudian disempurnakan kembali oleh Raja Fahd ibn Abd al-Aziz dari keluarga Saud pada tahun 1404 H. 

KISAH RINTIHAN TANGIS BATANG KURMA 

Rintihan tangis batang kurma adalah mukjizat yang diberikan kepada Nabi Muhammad SAW. dan tidak diberikan kepada nabi-nabi sebelumnya. Banyak riwayat menceritakan kejadian ini diantaranya sebuah riwayat dari Ubay ibn Ka’ab dia berkata : “Adalah Rasulullah SAW. Sholat dekat batang korma sebab dulu Masjidnya terbuat dari pelepah korma, beliau juga berkhutbah pada batang itu sampai seorang sahabat berkata “Wahai Rasulullh apakah Rasulullah mengizinkan untuk kami buatkan sesuatu untuk berdiri di hari jum’at agar orang bisa melihat dan mendengar suara Rasulullah ? Beliau berkata “Ya”. Sehingga dibuatlah mimbar dengan tiga tingkatan. Setelah dibuat (mimbar) itu diletakkan ditempat berdiri Rasulullah dan ketika rasulullah akan menuju mimbar beliau melewati batang kurma yang dulu digunakan untuk berkhutbah. Tatkala dilewati batang itu menjerit hingga terbelah. Saat jeritan itu terdengar Rasulullah SAW. Turun dan mengusapnya dengan tangan hingga tenang, kemudian kembali ke mimbar. Bila sholat beliau juga sholat ditempat itu. Posisi batang kurma tersebut menurut riwayat berada pada tiang yang menempel disebelah kanan mihrab dan dikenal sebagai Tiang Harum Mukhollaqoh. 

Keistimewaan tiang ini adalah dulu Rasulullah SAW. selalu sholat ditempat ini, demikian juga para sahabat dan tabiin menyukai sholat pada tiang tersebut. Banyak riwayat menjelaskan keutamaan tiang harum Mukhollaqoh, diantaranya riwayat Yazid ibn abid , dia berkata “Aku datang bersama Maslamah Ibn Al-Akwa , dia sholat ditiang yang berada disamping mihrab, aku berkata Wahai Abu Muhsin aku lihat engkau berusaha sholat ditiang ini, dia menjawab “Aku melihat Rasulullah SAW. berusaha sholat ditempat itu (Muttapakun Alaih). Imam Malik pernah ditanya “Manakah tempat yang paling engkau sukai untuk sholat ? beliau menjawab “Kalau sholat sunat di tempat Rasulullah SAW. tetapi untuk sholat wajib di awal shaf. 

TIANG AISYAH R.A. 

Tiang ini adalah tiang nomor 3 dari mimbar, 3 dari makam dan 3 dari Kiblat, tertulis “Ini adalah tiang Aisyah RA.” (Hadzihi Ustuwanah Aisyah), terkadang disebut sebagai tiang Qur’ah (undian), tiang Muhajirin dan Tiang Mukhollaqoh. Sebab penamaan tiang ini adalah riwayat yang menyatakan “Sesungguhnya ada sebongkah tanah di Masjid Nabawi, seandainya orang tahu mereka akan melakukan undian memperebutkan tiang itu untuk sholat. Dinamakan tiang aisyah ra, karena beliaulah yang menunjukkan tempat tersebut dan sekaligus menjelaskan makna hadistnya. Sedangkan penamaannya menjadi tiang Muhajirin, karena kaum Muhajirin dulu sering duduk di tempat ini. Dan penamaannya sebagai tiang Mukhollaqoh karena dicat dengan wewangian al-khollaq. 

TIANG ABU LUBABAH 

Tiang ini adalah urutan keempat dari mimbar, 2 dari makam dan 3 dari kiblat. Dinamakan demikian karena Abu Lubabah bertekad mengikat dirinya pada tiang itu sampai meninggal atau sampai turun wahyu ampunan dari Allah . Kemudian juga dikenal sebagai tiang Taubat setelah Allah menurunkan ayat diterimanya taubat Lubabah, yaitu saat dirinya masih terikat ditiang tersebut kaitannya dengan kesalahan yang dia perbuat dalam masalah Bani Quraidhah. 

Keutamaan lainnya adalah letaknya yang berhadapan dengan makan Nabi dan bagian kepala beliau. Tentang kisah Abu Lubabah ini, beberapa tulisan yang sempat saya baca menceritakan bahwa Abu Lubabah termasuk salah seorang Muslim pilihan yang telah membela dan menegakkan agama Islam. Dia adalah salah seorang pahlawan Muslimin dalam peperangan, yang telah mempersembahkan diri dan nyawanya di jalan Allah untuk menegakkan kebenaran dan meninggikan agama-Nya. Dia dilahirkan di Yatsrib (Madinah) yang subur dan banyak terdapat mata air, yang ditumbuhi pepohonan dan tumbuh-tumbuhan yang dapat dinikmati hewan dan manusia. Memang tiap daerah memiliki pengaruh kuat terhadap sepak terjang seseorang dan arah pemikirannya. Begitu juga dengan penduduk kota Madinah. Mereka pada umumnya dikenal memiliki akhlak yang luhur, pemaaf, berperasaan halus, dan suka berbuat baik pada sesamanya. Abu Lubabah termasuk laki-laki seperti itu yang diisyaratkan oleh Allah SWT dalam Al-Qur'an, "Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshar) mencintai orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshar) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung." (QS Al-Hasyr: 9) 

Istri Abu Lubabah bernama Khansa binti Khandam Al-Anshariyah dari golongan Aus. Pernikahan keduanya mendapat karunia seorang anak perempuan bernama Lubabah. Demikianlah, Abu Lubabah mendapatkan panggilannya. Abu Lubabah termasuk orang pertama yang masuk Islam, ketika beberapa orang Anshar berjumpa dengan Mush'ab bin Umair di Madinah. Ia juga salah seorang Anshar yang menghadiri Baiat Aqabah Kedua. Abu Lubabah kemudian kembali ke Madinah setelah pertemuannya dengan Rasulullah SAW. Ia merasa kagum sekali atas kepribadian dan keluhuran budi pekerti beliau. Tak lama setelah itu Rasulullah SAW telah berada di tengah-tengah kaum Muslimin di Madinah, menyusun syariat dan menetapkan undang-undang yang dibawa oleh Jibril dari Tuhannya. Tak lama setelah itu, pecahlah Perang Badar antara kaum musyrikin dan kaum Muslimin. Begitu Abu Lubabah mengetahui Rasulullah tengah mempersiapkan diri menyambut peperangan, ia pun bersiap-siap dan menemui Rasulullah dengan senjata di tangannya. Akan tetap Rasulullah tidak mengizinkan Abu Lubabah ikut dalam perang. Ia diamanahkan mewakili beliau menjaga kota Madinah. Penjagaan keamanan dan ketertiban kota itu tidak kurang pentingnya dengan perang di medan laga. Abu Lubabah diberi tanggungjawab memelihara keamanan dan keselamatan penduduk kota Madinah. Ia juga diberi amanah menjaga keamanan dan keselamatan pepohanan dan buah-buahan, memenuhi kebutuhan warga yang kelaparan dan semua kebutuhan lain, sampai pasukan Islam kembali dari medan laga. Abu Lubabah mematuhi perintah dan tugas dari Rasulullah dengan baik. Ia memimpin kota Madinah dan mempersiapkan bekal yang mungkin dibutuhkan oleh pasukan yang sedang berperang, dan menggalakkan pembuatan senjata perang siang dan malam, sehingga pasukan Muslimin memiliki persenjataan dan perbekalan yang lengkap. 

Dalam penyerbuan Rasulullah SAW ke perbentengan Yahudi Bani Quraizhah, Abu Lubabah ikut bersama beliau, dan pemimpin pemerintahan di Madinah diserahkan kepada Abdullah ibnu Ummi Maktum. Rasulullah bersama para sahabatnya mengepung benteng Bani Quraizhah selama 25 malam, sehingga mereka hidup dalam kekurangan dan ketakutan. Mereka kemudian mengirim seorang utusan kepada Rasulullah, meminta Abu Lubabah bin Mundzir dikirimkan kepada mereka untuk dimintakan pendapatnya. Rasulullah memerintahkan Abu Lubabah pergi menemui mereka. Sebelumnya, Rasulullah meminta pendapat mereka agar yang akan memberikan keputusan adalah Sa'ad bin Mu'adz. 

Begitu anak-anak dan istri-istri mereka melihat Abu Lubabah datang, mereka menangis meraung-raung, memohon belas kasihannya. Sudah tentu, Abu Lubabah sebagai manusia tidak bisa menyembunyikan rasa iba dan harunya kepada mereka. "Kami sudah mengatakan bahwa penduduk Madinah pada umumnya berhati lembut dan berjiwa pemaaf. Kasih sayangnya kepada sesamanya sangat besar," kata mereka. Tentu saja Abu Lubabah, sebagai manusia, terpengaruh dengan ucapan ini. Mereka bertanya, "Wahai Abu Lubabah, bagaimana pendapatmu, apakah kami akan tunduk kepada putusan Sa'ad bin Mu'adz?" Abu Lubabah lalu mengisyaratkan kepada mereka dengan tangannya yang diletakkan ke lehernya, bahwa mereka akan disembelih. Maka ia menyuruh mereka agar tidak mau menerima. 

Abu Lubabah menyadari kesalahannya. "Demi Allah, kedua kakiku belum beranjak dari tempatku melainkan telah mengetahui bahwa aku telah mengkhianati Allah dan Rasul-Nya." Ia kemudian pergi ke masjid dan mengikatkan tubuhnya pada salah satu tiang. "Demi Allah, aku tidak akan makan dan minum hingga mati atau Allah mengampuni dosaku itu," ujarnya lirih. Tujuh hari lamanya ia tidak makan dan minum sehingga tak sadarkan diri, kemudian Allah mengampuninya. Lalu ada yang menyampaikan berita itu kepadanya, "Wahai Abu Lubabah, Allah telah mengampuni dosamu." Ia berkata, "Tidak. Aku tidak akan membuka ikatanku sebelum Rasulullah datang membukanya." Tak lama setelah itu, Rasulullah pun datang membukanya. Abu Lubabah berkata kepada beliau, "Kiranya akan sempurna taubatku, kalau aku meninggalkan kampung halaman kaumku, tempatku melakukan dosa. Dan aku akan menyumbangkan seluruh hartaku." Rasulullah SAW menjawab, "Kau hanya dibenarkan menyumbang sepertiganya saja." Begitulah. Abu Lubabah mendapat ampunan, baik dari Rasulullah SAW maupun dari Allah SWT. Dia pun aktif bersama kaum Muslimin lainnya dalam berbagai peperangan. Tulisan tentang kisah Abu Lubabah ini juga saya temukan dalam sebuah blogspot yang dibuat oleh Ust. Rikza Maulan, Lc., M.Ag. Direktur Institut for Islamic Studies & Development Jakarta, beliau menguraikan secara panjang lebar tentang Hikmah dan Asbabunuzul Firman Allah SWT. didalam Al-Qur’an Surat Al-Anfal ayat 27 – 28 :                        Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang di percayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui. Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar. 

Terdapat beberapa hikmah yang dapat dipetik dari ayat di atas, diantara hikmah-hikmahnya adalah sebagai berikut : 1. Bahwa sebagai orang yang beriman, kita dilarang “berkhianat”, terlebih-lebih mengkhianati Allah dan Rasul-Nya. Firman Allah SWT di atas dengan sangat jelas menggambarkan hal tersebut, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” Khianat dalam ayat di atas digambarkan dalam dua jenis, pertama khianat khusus yaitu mengkhianati Allah dan Rasul-Nya. Khianat kepada Allah dan Rasulullah SAW terjadi seperti kisah Abu Lubabah yang berkhinat yang menjadi latar belakang turunnya ayat ini (di jelaskan di poin kedua). Adapun khianat yang kedua adalah khianat umum, yaitu khianat terhadap segala hal yang diamanahkan kepada kita ; janji, jabatan, keluarga, harta, rahasia, dsb. 2. Bahwa ayat di atas memiliki asbabunnuzul, yaitu sebagaimana digambarkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya dan juga digambarkan dalam riwayat-riwayat sirah nabawiyah. Diantara riwayatnya adalah riwayat Al-Kalbi, bahwa Abu Lubabah bin Abdul Mundzir diutus oleh Nabi Shallallahu’ Alaihi wa Sallam ke Bani Quraidzah (sebuah suku Yahudi Madinah yang telah melanggar perjanjian waktu perang Khandak), sebab selama ini Abu Lubabah memiliki hubungan yang baik dengan suku tersebut. Abu Lubabah juga bahkan menitipkan harta dan anak-anaknya pada Bani Quraidzah. Setelah bertemu dengan para pemuka Yahudi itu, disampaikanlah usulan Nabi Shalallahu’Alaihi wa Sallam agar mereka (Yahudi Bani Quraidzah) menyerah pada Sa’ad bin Mu’adz yang diperintahkan Nabi Shalallahu’Alaihi wa Sallam untuk menangani kasus mereka. Lalu pemuka Yahudi bisik-bisik bertanya, “Jika mereka turun (tidak melakukan apa yang diusulkan Rasulullah SAW), apa kira-kira hukuman yang dijatuhkan pada mereka?” Lalu dengan tidak pikir panjang Abu Lubabah memberikan isyarat dengan mengisyaratkan tangan ke lehernya, sebagai isyarat bahwa mereka akan dibunuh semua. Kelancangan Abu Lubabah itulah yang ditegur Allah SWT dengan diturunkannya QS. Al-Anfal 27 – 29 di atas. Karena tidak seharusnya Abu Lubabah “memberitahukan” hal tersebut kepada Bani Quraidzah. Setelah turun ayat ini, Rasulullah Shalallahu’Alaihi wa Sallam memanggil isteri Abu Lubabah dan bertanya, “ Apakah Abu Lubabah tetap mengerjakan shaum dan sholat. Dan adakah dia mandi junub setelah bersetubuh? “ Isterinya menjawab, “ Dia Shaum, Sholat dan mandi junub, bahkan cinta kepada Allah dan Rosul-Nya “. Nabi bertanya demikian, karena meragukan keimanannya, sehingga isterinya ditanya tentang kehidupannya, apakah dia Islam atau Munafiq. Isterinya menjawab pasti dia shaum, sholat dan setelah bersetubuh dia tetap mandi junub. Ini menunjukkan keimanannya baik. Tapi ia telah berkhianat, yang merupakan perbuatan orang Munafiq. Abu Lubabah memang bukan orang munafiq, tetapi karena kelancangannya dia telah dicap sebagai penghianat. Setelah turun ayat ini, Abu Lubabah merasa sangat menyesal, sebab Allah sendiri telah mencapnya sebagai penghianat, kemudian dia segera bertaubat. Menurut Riwayat Qatadah dan Az-Zuhri, taubatnya itu lain sekali. Dia bersumpah untuk tidak makan dan minum, sampai diberi ampun oleh Allah. Kemudian dia mengikatkan diri di tonggak masjid sampai sembilan hari, tidak makan dan tidak minum sampai jatuh pingsan. Setelah Allah menerima taubatnya, beberapa orang datang memberitahu bahwa Alloh telah menerima taubatnya dan mereka hendak melepas ikatannya. Tetapi Abu Lubabah bersumpah bahwa dia tidak mau dilepas kecuali oleh Rasulullah SAW. Beliau pun akhirnya melepaskan ikatannya. Setelah bebas Abu Lubabah berkata, “Ya Rasulullah, saya bernadzar untuk mensedekahkan seluruh harta saya “. Beliau menjawab, “Jangan semuanya, cukup sepertiga saja “. Inilah taubat Abu Lubabah, yang sangat luar biasa karena telah merasa berkhianat kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW. Dan kendatipun ayat ini turun mengenai Abu Lubabah, tetapi maksudnya umum, menjadi peringatan keras bagi umat Islam untuk teguh dan setia dalam memegang amnat. Tak ada artinya sholat, shaum, taat beribadah apabila seseorang tidak setia kepada amanah. 3. Bahwa penyebab terjadinya sifat “khianat” umumnya adalah faktor harta (amwalukum) dan keturunan (auladukum) beserta turunannya. Seperti Abu Lubabah yang memang secara histori memiliki hubungan sangat baik dengan Yahudi Bani Quraidzah, bahkan beliau menitipkan anak-anak dan juga hartanya di Yahudi Bani Quraidzah. Kedekatan hubungan dengan Yahudi inilah yang kemudian membuat Abu Lubabah tega “mengkhianati” Allah dan Rasulullah SAW. Abu Lubabah memberitahukan kepada Yahudi Bani Quraidzah apa yang akan dilakukan Rasulullah SAW jika mereka tidak mengikuti usulan Rasulullah SAW. Padahal tidak seharusnya beliau memberitahukan itu. Faktor kedekatan hubungan dengan Bani Quraidzah dan faktor harta yang beliau investasikan di Bani Quraidzh telah menjadikan beliau berkhianat kepada Allah & Rasul-Nya. Amwal (jabatan, kedudukan, harta, investasi) dan aulad (kedekatan hubungan, hutang budi, dsb) yang seringkali “membutakan” mata manusia, sehingga ia rela berkhianat. 4. Harta dan anak merupakan cobaan dan ujian dari Allah SWT. Mereka-mereka yang hidupnya dilalaikan dengan harta dan anak-anak, pastilah akan menuai kesengsaraan dan tidak mendapatkan kebahagiaan. Sebaliknya, orang-orang yang hidupnya istiqamah untuk selalu taat kepada Allah dan Rasul-Nya serta tidak dibutakan oleh harta, kedudukan, hubungan baik, hutang budi, keluarga, anak-anak atau kepentingan jangka pendek lainnya, akan mendapatkan kebahagiaan. Kisah seorang gadis anak penjual susu di zamah Kekhilafahan Umar bin Khattab ra, dapat kita ambil hikmahnya. Berikut adalah kisahnya “Bahwa Khalifah Umar bin Khattab pada suatu malam yang gelap gulita di saat beliau berkeliling di antara rumah-rumah rakyatnya, beliau mendengar dialog seorang anak perempuan dan ibunya, seorang penjual susu yang miskin. Kata ibu "Wahai anakku, segeralah kita tambah air dalam susu ini supaya terlihat banyak sebelum terbit matahari. Anaknya menjawab "Kita tidak boleh berbuat seperti itu ibu, Amirul Mukminin melarang kita berbuat begini" Si ibu masih mendesak "Tidak mengapa, Amirul Mukminin tidak akan tahu". Balas si anak "Jika Amirul Mukminin tidak tahu, tapi Tuhan Amirul Mukminin tahu". Umar yang mendengar kemudian menangis. Betapa mulianya hati anak gadis itu. Ketika pulang ke rumah, Umar bin Khattab menyuruh anak lelakinya, Asim menikahi gadis itu. Kata Umar, “Semoga lahir dari keturunan gadis ini bakal pemimpin Islam yang hebat kelak yang akan memimpin orang-orang Arab dan Ajam." Asim yang taat tanpa banyak tanya segera menikahi gadis miskin tersebut. Pernikahan ini melahirkan anak perempuan bernama Laila yang lebih dikenal dengan sebutan Ummu Asim. Ketika dewasa Ummu Asim menikah dengan Abdul-Aziz bin Marwan yang melahirkan Umar bin Abdul-Aziz, seorang Amirul Mu’minin yang namanya tertulis dengan tinta emas sepanjang zaman, karena keadilan dan kearifan beliau dalam memimpin umat Islam. Subhanallah.. betapa sifat amanah akan melahirkan pemimpin yang besar di masa yang akan datang. Sebaliknya, sifat khianah akan menimbulkan kesengsaraan dan kesulitan di masa yang akan datang. 5. Bahwa ayat di atas secara tersirat juga menggambarkan tentang keutamaan orang-orang yang istiqamah melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya (atau di zaman sekarang ini bentuknya dengan mentaati para ulama-ulama dan orang-orang shaleh). Ayat di atas menggambarkannya dengan firman Allah SWT “Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (QS. Al-Anfal : 28). Di akhir ayat tersebut disebutkan bahwa di sisi Allah lah pahala yang besar. Artinya adalah bahwa orang yang menjaga amanah akan mendapatkan pahala yang besar baik di dunia maupun di akhirat. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman : وَالَّذِينَ هُمْ لِأَمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ ﴿٨﴾ وَالَّذِينَ هُمْ عَلَى صَلَوَاتِهِمْ يُحَافِظُونَ ﴿٩﴾ أُوْلَئِكَ هُمُ الْوَارِثُونَ ﴿١٠﴾ الَّذِينَ يَرِثُونَ الْفِرْدَوْسَ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ ﴿١١﴾ Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya, dan orang-orang yang memelihara sembahyangnya.mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi, (ya`ni) yang akan mewarisi surga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya. (QS. Al-Mu’minun 11) 6. Bahwa cara atau sarana agar kita tidak tertipu dengan “kemilaunya” kehidupan dunia adalah dengan memupuk keimanan kepada Allah SWT, mempertebal keyakinan tentang akhirat serta meyakini bahwa apa yang ada di tangan Allah SWT adalah lebih utama. Dan untuk merealisasikan itu semua, sarana utamanya adalah mendengarkan serta mentaati nasehat ulama dan berkumpul dengan orang-orang shaleh. Orang-orang shaleh memiliki nur (cahaya) yang akan menerangi jalan kita. Sehingga apabila di sekeliling kita adalah orang-orang shaleh, maka insya Allah akan semakin menjadikan jalan kita menjadi semakin terang terhindar dari sifat khianat.Wallahu A’lam bis Shawab. 

TIANG SARRIR (Tempat Tidur) 

Tiang Sarrir terletak dekat tembok makam Rasulullah SAW. Pada tiang tertulis “Ini tiang Sarrir” (Hadzihi Ustuwanah al-Saris)… tulisan pada tiang tiang Raudhah menggunakan Kaligrafi sehingga agak sulit untuk dibaca terutama bagi yang kemampuan baca tulisan arab agak kurang seperti saya……..Dinamakan tiang sarir karena Rasulullah SAW. Saat beriktikaf tempat tidurnya selalu dibeberkan di tempat ini. Tiang Sarrir dekat dengan kamar Nabi (dan Aisyah). Aisyah RA. berkata :”Adalah Rasulullah SAW. mendekatkan kepalanya kepadaku, beliau ada di samping dan aku membasuh kepala dan kedua kaki beliau. Pada saat itu aku tetap berada di kamarku sedangkan Rasulullah SAW berada di Masjid. Para sahabat juga senang berada ditempat ini. Tiang Mahraz (Tempat Penjagaan) Tiang ini terletak sejajar dan berada dibelakang tiang sarrir dari utara. Tertulis “Ini adalah tiang “Mahraz” (Hadzihi Uswanah al-Mahras) Penamaannya disebabkan karena dulu para sahabat berada di tempat ini ketika menjaga Rasulullah SAW. DInamakan juga Pintu Ali, karena dulu beliau sholat ditempat ini saat menjaga Rasulullah SAW. Tiang Wufud Tiang ini terletak dibelakang tiang Mahraz dan pada tiang tertulis “ini adalah tiang al-Wufud” (Hadzihi Ustuwanah al-Wufud). Al-Wufud artinya utusan, karena disinilah Rasulullah SAW. duduk menerima utusan-utusan Arab. Disamping itu tiang ini juga dikenal dengan Majelis Al-Qiladah, sebab sering digunakan sebagai tempat duduk-duduk oleh orang-orang yang terhitung tersohor baik dari bani Hasyim atau bani yang lain.
Inilah photo tiga tiang yang menempel di ventilasi Makam Rasulullah SAW. (Tiang Sarrir, Mahraz dan Tiang Wufud) 

BERIBADAH DI RAUDHAH 

Pada malam pertama berada di Madinah, kami ke Masjid Nabawi sekitar pukul 11 malam bersama 3 orang teman. Berbekal pengetahuan manasik dari tanah air kami coba masuk melalui Babussalam. Setelah berdo’a dengan do’a masuk masjid kami coba berjalan bersama jamaah lainnya yang memang pada waktu itu masih agak lenggang alias tidak terlalu padat. Maka dengan mudah salah seorang teman saya masuk ke Raudhah melalui pintu disebelah kanan Mihrab Nabi atau disebelah kiri Makam Rasulullah, tetapi ketika kami mencoba mengikuti teman itu kami dicegat oleh Askar yang menjaga sehingga kami terpaksa kembali dan masuk melalui pintu disebelahnya (berdekatan dengan Mihrab Hanafi). Pada saat itu kami dengan mudah masuk dan langsung menuju Raudhah. Suasana ditempat tersebut masih longgar sehingga sepuasnya kami dapat sholat sunat dan berdo’a bahkan tanpa disuruh keluar dari Raudhah oleh Askar kami keluar dan langsung berziarah di Makam Rasulullah SAW. 

Demikian juga pada saat sholat subuh saya datang sekitar pukul 3.00 malam sehingga dengan mudah juga masuk ke Raudhah untuk sholat dan berdo’a kemudian ketika azan saya keluar dari Raudhah dan membuat shaf di belakang imam karena sesuai tuntunan sunah kalau sholat berjamaah lebih afdhal di barisan depan (dibelakang imam). Pada saat itu saya belum tahu kalau azan di Madinah dilakukan sebanyak 2 kali sehingga setelah azan saya gunakan untuk sholat sunat dan berdo’a sebanyak-banyaknya bahkan sampai ngantuk (Saat saya ngantuk saya ingat pesan salah seorang guru saya sebelum berangkat “Kalau terlalu ngantuk tidurlah dengan duduk sambil bungkukkan sedikit kepala” dengan demikian wudhuk kita tidak batal..bayangkan kalau wudhuk sampai batal sementara kita ditengah masjid bakalan tidak kebagian tempat, lagi pula tempat wudhu jauh di lantai bawah menggunakan lift). 

Setelah berjarak 1 jam dari azan pertama barulah dikumandangkan azan kedua dan itulah azan subuh (ternyata azan pertama tadi azan untuk sholat tahajjud). Maka pada malam-malam berikutnya sudah saya maklumi sehingga kalau kebetulan sampai di mesjid sebelum azan pertama saya gunakan untuk sholat-sholat sunat seperti sholat sunat tasbih dan lainnya dan terkadang saya lanjutkan dengan membaca Al-Qur’an barulah setelah azan pertama saya gunakan untuk sholat Tahajjud yang diakhiri dengan witir. 

Di Madinah ternyata kita harus dapat membaca situasi “apa yang terjadi hari ini harus menjadi pelajaran untuk hari berikutnya” termasuk untuk beribadah di Raudhah. Ketika hari pertama dan kedua kita dengan mudah masuk melalui pintu mana saja tetapi memasuki hari ketiga dan seterusnya jemaah semakin bertambah padat maka petugas Masjid juga melakukan pengaturan lalu lintas jemaah masuk masjid. Ketika jemaah sudah padat dari berbagai Negara, Pintu Babussalam hanya digunakan untuk jemaah yang berziarah ke Makam Rasulullah dan tidak diperbolehkan masuk Raudhah melalui Babussalam. Bila ingin masuk Raudhah harus melalui 2 Pintu sebelah kiri (Pintu Abu Bakar dan Pintu Rahmat). Ketika masuk melalui pintu Abu Bakar atau Pintu Rahmat, biasanya jemaah sudah padat didalam, ada yang sholat sunat, ada yang berdo’a dan ada yang membaca alqur’an, maka masuklah dengan kaki kanan dan jangan lupa berdoa lalu melintaslah dengan tenang dan sofan. Terkadang kita melihat jemaah dari Negara lain seperti Nigeria Warga Kulit Hitam atau turki, iran dan lainnya mereka melintasi jemaah tanpa permisi bahkan melompati kepala jemah yang sedang duduk berdo’a bahkan walaupun ada jemaah yang sedang sholat mereka dengan gampang melintas didepannya. Kita memang tidak bisa meniru cara mereka tetapi juga kalau kita tidak berani melintasi saf jemaah maka kita akan selalu di saf belakang sehingga alternatifnya (menurut pemikiran saya sendiri…) melintaslah dengan sofan ketika ada jarak dapat kita lalui dan bila perlu menepuk pundak atau lengan jemaah yang akan kita lalui sebagai tanda “permisi”, sebaiknya juga tidak melintasi orang yang sedang sholat, lalu carilah tempat yang memungkinkan untuk kita tempati bahkan kalau situasi memungkinkan langsung masuk ke kawasan Raudhah. Di Raudhah kita diberikan waktu secara bergiliran, jemaah yang sudah sholat sunat dan berdo’a akan ditegur oleh Askar untuk segera meninggalkan Raudhah dan jemaah lainnya diberikan kesempatan secara bergantian, begitu seterusnya. Bahkan ketika jemaah sudah terlalu padat dibuatkan pagar pembatas untuk memudahkan pengaturan. Ketika menjelang azan atau beberapa menit sebelum azan untuk sholat berjamaah maka jemaah yang sedang berada di Raudhah diberikan kesempatan untuk tinggal dan membuat saf untuk sholat berjamaah. Bahkan bila kebetulan sedang berada di Raudhah saat sholat magrib akan diberikan kesempatan untuk tetap tinggal di Raudhah sampai sholat Isha. Hal yang paling penting bila ingin tetap masuk ke Raudhah datanglah lebih awal dan masuk melalui Pintu Sebelah Kiri Babussalam Insya Allah akan tetap dapat beribadah di Raudhah. Kalau kebetulan datang agak terlambat sehingga pintu Babussalam maupun 2 pintu sebelahnya sudah ditutup maka masuklah melalui pintu lainnya tetapi setelah sholat berjamaah selesai tetaplah tinggal sambil menunggu jemaah agak sepi dan 2 pintu sebelah kiri Babussalam dibuka. Lalu masuklah dan mendekatlah ke Raudhah, bersabarlah dan ikuti Aplus yang diatur oleh Askar. Demikian juga pada area Babussalam sebelum mendekati waktu sholat kita tidak diperbolehkan tinggal dan hanya diperbolehkan untuk jemaah yang berziarah ke Makam Rasulullah tetapi kalau ingin mendapatkan shaff dibelakang imam maka masuklah ke Babussalam kurang lebih setengah jam sebelum waktu sholat berjamaah dan buatlah saff sambilan membaca alqur’an atau berdo’a. Di Area Babussalam setelah sholat berjamaah, kita hanya diperbolehkan untuk berziarah ke Makam Rasulullah dan keluar melalui pintu baqi’ tetapi kalau berkehendak untuk masuk Raudhah setelah sholat jamaah berusahalah setelah sholat untuk segera mendekati pintu Raudhah dan masuklah segera sebelum dijaga ketat oleh petugas. 

Beberapa tips penting selama di Masjid Nabawi :
1. Manfaatkan kesempatan pada awal-awal kedatangan untuk 
    beribadah di Raudhah; 
2. Datanglah ke Masjid lebih awal sebelum dimulai sholat 
    berjamaah; 
3. Bacalah situasi pengaturan yang dilakukan oleh petugas untuk 
    memudahkan memasuki kawasan Raudhah; 
4. Kuatkan keyakinan   dan tekat, berdo’a dan melintaslah dengan 
   sofan Insya Allah kita dapat berdo’a sepuasnya ditempat yang
    penuh berkah dan Isijabah tersebut.

  
Babussalam dan beberapa pintu disebelah kirinya yang dapat digunakan 
 untuk masuk menuju Raudhah



Pintu Al-Baqek, pintu keluar setelah berziarah di makam Rasulullah setelah masuk melalui Pintu Assalam. Terletak berhadapan dengan Makam Baqek sehingga bila akan berziarah ke makam Baqi’ berjalanlah lurus kurang lebih kurang 300 meter


Pintu Jibriel, pintu keluar setelah melalui Raudhah dengan terlebih dahulu  melintasi Panggung Tahajjud

Pintu Annisa, terletak disebelah kanan pintu Jibriel umumnya digunkan oleh Jemaah Perempuan untuk memasuki Kawasan Raudhah pada jam-jam tertentu

1 comment:

  1. Alhamdulillah..sebuah perkongsian yang amat baik. Saya minta izin untuk menggunakan beberapa photo dan maklumat daripada lelaman blog anda untuk dikongsikan kepada pelajar-pelajar saya. Terima kasih

    ReplyDelete